Stamford Bridge – Pada Selasa malam (30/9/2025) atau Rabu dini hari WIB, Jose Mourinho kembali menginjakkan kaki di tempat yang tak akan pernah terasa asing: Stamford Bridge. Ia datang bukan sebagai “Si Biru” yang legendaris, melainkan sebagai nakhoda tim tamu, membawa raksasa Portugal, Benfica, untuk berduel di Liga Champions 2025-2026 melawan Chelsea.
Baca Juga : Galatasaray Vs Liverpool: Tantangan The Reds Bertamu ke “Neraka” dan Misi Bangkit Arne Slot
Namun, bagi publik The Blues, The Special One tetaplah legenda. Kunjungan ini bukan sekadar reuni; ini adalah kisah cinta abadi, yang ditandai dengan sambutan hangat, makanan favorit, dan seruan nama yang tak pernah pudar.
Ikatan yang Lebih Dalam dari Sekadar Pekerjaan
Mourinho, dalam konferensi pers jelang laga, berusaha memisahkan profesionalisme dan emosi. Ia menegaskan fokusnya pada klub yang kini ia bela, Benfica.
“Saya bukan lagi biru. Saya merah dan saya ingin menang,” tutur Mourinho, merujuk pada warna kebesaran Benfica.
Namun, ia tak bisa menyembunyikan ikatan batinnya yang tak terpisahkan dari Chelsea, klub yang diantarnya meraih tiga gelar Liga Inggris (2004-2005, 2005-2006, dan 2014-2015).
“Tentu saja saya akan selalu biru. Saya bagian dari sejarah mereka dan mereka bagian dari sejarah saya,” katanya dengan nada penuh respek. “Saya membantu mereka menjadi Chelsea yang lebih besar dan mereka membantu saya menjadi Jose yang lebih besar.”
Pernyataan ini menyoroti simbiosis mutualisme yang telah dibangun: Chelsea memberikan panggung global, dan Mourinho memberikan gelar yang sangat didamba. Ikatan ini begitu kuat, bahkan ketika ia datang sebagai lawan, ia diperlakukan sebagai legenda hidup.
Biskuit Favorit dan Chant yang Tak Pernah Mati
Betapa istimewanya Mourinho di Stamford Bridge terbukti dari detail kecil yang jarang didapatkan pelatih tim tamu. Laporan menyebutkan, di ruang ganti tim tamu, Chelsea telah menyediakan biskuit favorit sang pelatih asal Portugal tersebut—sebuah gesture tulus yang melampaui persaingan di lapangan hijau.
Di tengah ketegangan laga Liga Champions, publik Stamford Bridge berulang kali menunjukkan afeksi mereka. Setidaknya dalam tiga kesempatan berbeda, suara chant nyaring meneriakkan nama Mourinho menggema di stadion berkapasitas 40.044 tempat duduk tersebut.
Mourinho membalas seruan itu dengan lambaian tangan yang hangat. Momen-momen ini menjadi puncak emosional, menegaskan bahwa bagaimanapun seragam yang ia kenakan, ia adalah anak kesayangan The Blues.
Mourinho sendiri mengenang kedatangannya yang pertama pada 2004, lebih dari dua dekade lalu, yang saat itu penuh tanda tanya. “Ketika pertama kali datang ke sini, tidak ada yang menunggu saya. Banyak tanda tanya,” kenangnya, dilansir dari BBC. Namun, ia segera membuktikan diri. Periode pertamanya (2004-2007) dengan cepat mengubah Chelsea menjadi kekuatan dominan di Liga Inggris.
Kisah The Special One dan Chelsea adalah bukti bahwa dalam sepak bola profesional yang kejam, ada loyalitas dan sejarah yang tak bisa dibeli—sejarah yang akan selalu menyambutnya pulang, bahkan saat ia datang untuk mencoba merebut kemenangan.